"Allah Memusnahkan Riba dan Menyuburkan Sedekah. Dan Allah tidak Menyukai Orang Yang Selalu Dalam Kekafiran dan Selalu Berbuat Dosa" (Q.S. Al Baqarah :276)

Jumat, 09 Mei 2008

Riba dan Bunga Bank

Riba secara bahasa berarti tambahan dan secara istilah berarti tambahan pada harta yang disyaratkan dalam transaksi dari dua pelaku akad dalam tukar menukar antara harta dengan harta1. Sebagian ulama ada yang menyandarkan definisi riba pada hadits yang diriwayatkan al-Harits bin Usamah dari Ali bin Abi Thalib, yaitu bahwa Rasulullah SAW bersabda: Setiap hutang yang menimbulkan manfaat adalah riba.

Pendapat ini tidak tepat, karena, hadits itu sendiri sanadnya lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Jumhur ulama tidak menjadikan hadits ini sebagai definisi riba, karena tidak menyeluruh dan lengkap, disamping itu ada manfaat yang bukan riba yaitu jika pemberian tambahan atas hutang tersebut tidak disyaratkan.

Sejarah Riba

Riba memiliki sejarah yang sangat panjang dan prakteknya sudah dimulai semenjak bangsa Yahudi sampai masa Jahiliyah sebelum Islam dan awal-awal masa ke-Islaman. Padahal semua agama Samawi mengharamkan riba karena tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam kehidupan bermasyarakat. Allah SWT berfirman:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا. وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih (QS an-Nisaa: 160-161)

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ . يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ. يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ .

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS al-Baqarah 275,276, 278,279)

Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ

Artinya: Dari Jabir berkata: Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, yeng memberi makan, pencatatnya dan kedua orang saksinya (HR Muslim)


Pembagian Riba

Riba dibagi menjadi dua yaitu riba Fadl (riba jual beli) dan riba Nasiah (riba hutang). Riba� Nasiah disebut juga riba Jahiliyah. Riba Fadl adalah tambahan pada salah satu dari dua alat tukar (barang) yang satu jenis. Riba Nas�ah adalah riba yang disebabkan oleh adanya penundaan (hutang) yang terjadi pada harta riba.


Harta Riba

Harta yang dapat mengandung riba disebutkan dalam hadits:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ *

Artinya: Dari Ubadah bin Shamait berkata: Rasulullah SAW bersabda: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan terigu, korma dengan korma, garam dengan garam hamus sama bertanya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).

Harta Riba terbagi menjadi dua, emas dan perak yaitu alat tukar. Tepung terigu, gandum, korma dan garam yaitu makanan.


Ilat Riba

Para ulama berbeda pendapat mengenai ilat atau alat ukur untuk mengetahui riba pada harta. Madzhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa terjadinya riba pada enam jenis barang yang disebutkan hadist dan segala macam yang dapat ditimbang dan ditakar baik berupa makanan atau bukan, harga atau bukan. Pendapat ini memiliki konsekwensi bahwa riba terjadi pada barang apa saja yang dapat ditimbang dan ditakar. Dan pendapat ini sangat sulit untuk diterapkan. Karena dapat dipastikan transaksi apa saja antara dua jenis barang yang dapat ditimbang dan ditakar maka mengandung riba.

Sedangkan Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa ilat pada keempat harta riba adalah makanan, sedangkan pada kedua harta adalah terbatas pada emas dan perak saja. Sehingga harta atau alat tukar yang bukan dari emas dan perak tidak termasuk harta riba. Pendapat ini akan dijadikan alasan kuat bahwa trnasaksi uang yang berlaku sekarang tidak termasuk riba karena bukan emas dan perak.

Madzhab Maliki berpendapat bahwa ilat riba pada dua jenis harta emas dan perak adalah nilainya atau harganya yang dapat dijadikan alat tukar, sedangkan pada empat harta lainnya adalah makanan pokok yang dapat disimpan.

Pendapat yang benar dan sesuai dengan realitas sekarang adalah pendapat Madzhab Maliki. Sehingga riba akan terjadi pada semua jenis makanan pokok yang dapat diawetkan dan semua jenis alat tukar yang memiliki nilai selain emas dan perak.

Riba yang menjadi pembahasan para ulama yang terkait dengan bunga bank adalah riba Nasiah atau riba hutang atau riba Jahiliyah. Topik inilah yang menjadi isu sentral sekarang ini, dan ini pulalah yang dipraktekkan oleh bank-bank konvensional.


Apakah Bunga Bank itu Riba ?

Untuk mengetahui apakah bunga bank identik dengan riba , terlebih dahulu harus mengetahui aktivitas bank. Bank konvensinal selalu bermuamalah dengan hutang (qard). Bank berhubungan dengan nasabah berupa hutang, baik meminjamkan uang pada nasabah atau nasabah mendepositokan uang di bank. Itulah aktivitas inti pada bank konvensional walaupun ada aktivitas lain seperti jasa, investasi dll. Dalam aktivitas hutang-piutang selalu menggunakan bunga bank. Dengan mengetahui aktivitas bank, kita dapat menyimpulkan bahwa bunga bank adalah riba yang diharamkan, bahkan riba yang paling jahat yaitu riba hutang atau riba jahiliyah. Dan pendapat inilah yang disepakati oleh para ulama, diantaranya ulama yang tergabung pada Lembaga Riset Islam Al-Azhar di Kairo tahun 1965, Lembaga Fiqh Islam OKI di Jeddah tahun 1985, Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami di Mekkah tahun 1406 H, Keputusan Muktamar Bank Islam Kedua di Kuwait tahun 1983, Fatwa Mufti Mesir tahun1989, telah menyepakati bahwa bunga bank adalah riba1.

Sebagaian ulama membolehkan bermuamalah dengan bunga bank karena darurat atau kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Mereka berdalil bahwa kondisi darurat membolehkan sesuatu yang haram ((الضرورة تبيح المحضورة. Untuk menjawab masalah ini maka harus melihat definisi darurat dan hajat menurut para ulama.

Para ulama sepakat bahwa yang disebut darurat adalah sesuatu yang jika tidak melakukan yang diharamkan Allah dipastikan akan menimbulkan bahaya kematian atau mendekati kematian. Dalam kondisi seperti inilah dibolehkan sesuatu yang haram sebagaimana disebutkan dalam ayat dibolehkannya makan bangkai, darah dll. Adapun hajat yaitu kondisi pada seseorang jika tidak melakukan yang diharamkan berada dalam posisi yang berat dan sulit.

Perbedaan antara darurat dan hajat adalah: Pertama, kondisi darurat menyebabkan dibolehkannya sesuatu yang diharamkan Allah baik yang menimpa individu maupun jamaah sedangkan hajat tidak mendapatkan dispensasi keringanan dari hukum kecuali jika hajat tersebut menimpa jamaah (kelompok manusia). Karena setiap individu memiliki hajat masing-masing dan berbeda dari yang lain maka tidak mungkin setiap orang mendapatkan hukum khusus. Lain halnya pada kondisi darurat karena ia merupakan kondisi yang langka dan terbatas. Kedua, Hukum rukhsoh karena darurat adalah penghalalan sementara pada sesuatu yang diharamkan secara nash dan penghalalan tersebut selesai dengan lenyapnya kondisi darurat dan terbatas pada seseorang yang tertimpa kondisi tersebut. Adapun hukum yang dibangun atas hajat adalah hukum yang tidak bertentangan dengan nash tetapi bertentangan dengan kaidah dan qiyas yang bersifat umum.

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang konsumtif sedangkan yang produktif tidak dilarang. Tetapi pendapat ini bertentangan dengan realitas masyarakat Quraisy di Mekkah dimana mayoritas mereka adalah pedagang yang biasa melakukan perdagangan luar negeri antara Yaman dan Syam, dan mereka bermuamalah dengan riba� untuk tujuan dagang.

Pendapat ulama yang lain mengatakan bahwa bunga bank yang diharamkan adalah bunga bank yang berlipat ganda itu (adhafan mudhaafah) sedang riba yang kecil seperti 10 % , atau 5% tidak termasuk riba yang dilarang. Tetapi pendapat ini juga tertolak karena ungkapan adhafan mudhaafah adalah dalam konteks menerangkan kondisi obyektif riba atau bunga bank dan sekaligus mengecamnya. Bahkan jika kita berpegang pada zhahirnya ayat maka yang disebut berlipat ganda itu besarnya 600 % -sebagaimana dikatakan Prof. Dr. Muhammad Diraz- karena kata adhaf merupakan bentuk jama, paling sedikit tiga, maka jika tiga dilipatgandakan akan menjadi enam maka berlipat ganda berarti 6 kali atau 600%. Maka hal ini tidak akan pernah terjadi pada perbankan manapun.

Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi umat Islam bermuamalah dengan bunga bank yang dilakukan oleh bank konvensional. Apalagi sekarang sudah mulai bermunculan Bank Islam atau Bank Syariah yang tidak mempraktekkan riba.

Masalah yang timbul adalah banyak umat Islam yang sudah menyimpan uangnya di bank konvensional yang mendapatkan bunga. Jika bunga tersebut tidak diambil maka ini menguntungan bank tersebut tetapi jika diambil itu adalah riba. Maka jalan tengah yang dapat ditempuh adalah bunga bank tersebut diambil tetapi alokasi penggunaanya untuk hal-hal yang bersifat umum dan tidak dimiliki pribadi atau kepentingan dakwah. Alokasi yang dapat dimungkinkan adalah untuk perbaikan atau pembangunan jalan umum, MCK, solokan air dll.

Sumber : syariahonline.com

Tidak ada komentar: